

Lumimuut dan Toar dipertemukan oleh Karema sebagai sepasang
suami-istri. Toar dan Lumimuut tinggal dan beranak cucu di daerah yang disebut
Wulur-Mahatus, yang terletak di selatan Malesung (Minahasa).
Keturunan Toar Lumimuut ini semakin lama semakin bertambah
banyak sampai di daerah Watu Nietakan di Wulur Mahatus, sehingga terjadinya
pembagian golongan masyarakat dari keturunan Toar Lumimuut yang terdiri dari:
golongan Makarua Siou (2 x 9), yang mengatur kegiatan keagamaan dan adat
istiadat, yaitu para Walian dan Tonaas, golongan Makatelu Pitu (3 x 7), yaitu
golongan Teterusan yang terdiri dari para Waranei (Prajurit) dan pimpinannya,
yang mengatur keamanan, dan golongan Pasiowan Telu yang terdiri dari rakyat
biasa, petani, dan pemburu. Karena semakin bertambah banyak masyarakat dari
keturunan Toar Lumimuut tersebut mereka akhirnya memutuskan untuk kelar
berpencar untuk mencari tanah yang baru dan Tumami (membuka tanah bermukim yang
baru).
Ketika mereka terpencar-pencar, mereka menghadapi masalah,
seperti tidak bisa berkomunikasi, saling berebut wilayah atau tanah, dan
pertikaian antar golongan, karena tidak adanya penentuan dan pengaturan serta
cara pembagian yang adil dalam memilih dan menentukan tempat Tumami.

Mereka lalu mencari tempat untuk bertemu dan bersama-sama
mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Akhirnya mereka menemukan
sebuah tempat yang terletak di kaki pegunungan Tonderukan. Di tempat itulah
kemudian mereka berkumpul mengadakan musyawarah untuk mengatasi masalah yang
dihadapi.

Sejak itulah kemudian penduduk mulai tersebar keseluruh
Minahasa, berkembang menjadi suku dan bahasa : Tonsea, Toumbulu, Tountemboan,
Toulour, Tounsawang, kemudian penduduk pendatang dengan nama Bantik, Pasan, dan
Ponosakan.

Lokasi ini ditemukan kembali oleh JGF Riedel pada tahun
1881. Dari catatan penelitian Riedel dan Schwarz pada tahun 1862 dan
bukti-bukti peninggalan lisan leluhur Minahasa, diperkirakan Watu Pinawetengan
berasal dari abad VII Masehi. Berdasarkan cerita rakyat Minahasa dahulu, Watu
Pinawetengan disebut sebagai Watu Rerumeran ne Empung atau batu tempat
berunding para leluhur, dimana para pemimpin sub-etnis Tou Malesung berkumpul
dan kemudian berikrar untuk menjadi satu sebagai Tou (Orang) Minahasa (sebuah
kata yang berarti Mina (Menjadi), dan Esa (Satu), dan kemudian menjadi
Minahasa). Sumber:
p4mriunima.wordpress.com